Manufaktur RI Makin Hancur, Prabowo Sulit Kejar Capaian Soeharto
Jakarta, Harian – Aktivitas manufaktur di seluruh dunia sedang lesu. Hal ini tercermin dari Indeks Manajer Pembelian (PMI) Manufaktur yang turun di berbagai negara termasuk Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, data PMI sektor manufaktur per Agustus 2024 menunjukkan 54,2% negara G20 dan ASEAN-6 mengalami kontraksi atau di bawah batas 50, sedangkan hanya 45,8% yang berada di zona ekspansi.
“Yang perlu diwaspadai adalah sektor manufaktur yang terus melemah. Indeks produksi industri global berada di angka 49,5 sehingga aktivitas manufaktur secara keseluruhan menurun,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN di Jakarta, dikutip Selasa. (24/09/2024).
Indonesia termasuk negara yang aktivitas manufakturnya mengalami penurunan dengan PMI manufaktur sebesar 48,9. AS juga berada di peringkat 48, dan kawasan Eropa bahkan berada di level indeks 45,8.
Yang positif antara lain Inggris, China, Korea Selatan, India, Singapura, Filipina, Thailand, Vietnam, Arab Saudi, Brazil, dan Rusia, kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani mengatakan lesunya aktivitas manufaktur perlu diwaspadai karena akan berdampak pada aktivitas perekonomian dalam negeri. Hal yang jelas berdampak buruk adalah lesunya harga komoditas yang menyebabkan jatuhnya pembayaran pajak yang terkait dengan harga komoditas.
“Kita harus waspada ketika PMI kita memasuki masa kontraksi,” tegas Sri Mulyani.
Hingga akhir tahun depan, Kementerian Keuangan sebenarnya memperkirakan penerimaan pajak belum mencapai 100% dari target APBN tahun 2024.
Berdasarkan laporan perkiraan semester I tahun 2024, penerimaan pajak hanya mencapai Rp 1.921,9 triliun atau 96,6% dari target APBN 2024 sebesar Rp 1.988,9 triliun pada akhir tahun.
“Banyak wajib pajak badan yang berkurang pendapatannya dalam hal pembayaran pajak,” ujarnya.
Direktur Program Institute for Economic and Financial Development (Indef) Eisha Magfiruha Rahbini mengatakan pelemahan industri manufaktur sebenarnya terus berlanjut selama satu dekade terakhir, berbalik arah pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto.
Eisha mengatakan, Indonesia mencapai beberapa tonggak penting industrialisasi pada masa Orde Baru sehingga menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat. Pertumbuhan kemudian mencapai 8-9%. Pertumbuhan rata-rata sebesar 8% dicapai dari tahun 1989 hingga 1996, dan pertumbuhan dapat mencapai 8-9% dalam satu tahun.
“Jika kita melihat era 1989-1996 sebagai pembelajaran, kita melihat pertumbuhan manufaktur terus meningkat. Pada tahun 1989, dari 19% terus meningkat menjadi 25%, manufaktur menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi saat itu,” kata Eisha.
Namun, pada satu dekade kepemimpinan Presiden Joko Widodo, industri manufaktur justru kehilangan kekuatan. Kontribusi sektor industri terus menurun, dari 25% terhadap produk domestik bruto menjadi hanya sekitar 18% pada tahun 2023.
“Ini merupakan angka yang cukup rendah dibandingkan pencapaian tahun 80-an. Seolah-olah deindustrialisasi prematur terjadi lagi,” kata Eisha.
Eisha menjelaskan permasalahan industri tanah air adalah masih mengandalkan komoditas dibandingkan teknologi tinggi. Produktivitas juga rendah, seiring dengan permasalahan ketenagakerjaan. Indonesia masih tertinggal dibandingkan Tiongkok dan Jepang. Daya saing tenaga kerja juga masih lebih rendah dibandingkan Thailand.
“Selain itu, inovasi dan teknologi, serta permasalahan banyak kawasan industri yang sedang dibangun namun beroperasi, utilitas masih menjadi permasalahan. Begitu pula dengan infrastruktur dan penggunaan komponen dalam negeri untuk pengolahan produk industri, serta penggunaan material, saat ini masih bergantung pada impor. “, katanya.
Situasi ini harus berubah di bawah pemerintahan Prabowo. Menurut Eishi, Indonesia berpeluang kembali ke tingkat pertumbuhan tinggi dengan segala sumber daya yang dimiliki.
“Kompleksitas ekonomi yang tinggi seharusnya menunjukkan bahwa Indonesia akan mampu berproduksi dengan baik, bernilai tambah tinggi, berkualitas dan berteknologi tinggi, sehingga mampu memberikan produktivitas, memiliki inovasi dan keterampilan yang tinggi. Kemudian dapat meningkatkan daya saing ekspor. akan membantu menumbuhkan perekonomian dan mendorong penggunaan emisi, menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran dan mengurangi kemiskinan,” kata Eisha.
“Hal ini menjadi landasan bahwa jika kita ingin menjadi negara maju, kita perlu memberikan nilai tambah dan berproduksi melalui industri manufaktur yang dapat memberikan nilai tambah dan kecanggihan ekspor yang tinggi. Juga diversifikasi ekspor sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.” “, dia menekankan.
(Arj/ya)
Artikel selanjutnya
Industri penerbangan dan tekstil yang mengalami ketakutan belum pernah pulih dari dampak pandemi ini.
Post Comment